Debt to equity ratio (DER) atau rasio utang terhadap modal dalam dunia bisnis sering digunakan oleh para investor sebagai tolok ukur kinerja keuangan. DER juga memiliki implikasi yang erat pada perhitungan pajak karena kebijakan DER tinggi (utang sengaja dibuat lebih besar daripada modal) dapat dijadikan strategi pengurangan pajak penghasilan.
Untuk menghindari hal tersebut, terdapat ketentuan yang membatasi DER, dimana Menteri Keuangan ditunjuk sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan keputusan tersebut.
Penerapan Pembatasan Debt to Equity Ratio di Indonesia
DER yang nilainya kurang dari 1, contohnya 1:2, dapat diartikan kegiatan perusahaan lebih banyak didanai oleh modal (equity) daripada utang (debt). Sementara apabila DER nilainya lebih dari 1, contohnya 3:1, maka utang yang lebih dominan dalam mendanai operasi perusahaan.
Pembatasan DER pertama kali ditetapkan di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984. Dalam keputusan ini, ditentukan besarnya perbandingan utang dan modal dibatasi setinggi-tingginya tiga (utang) banding satu (modal) atau perbandingan 3:1. Namun kemudian keputusan ini dibekukan pada tahun 1985.
Pembatasan DER kemudian mulai diberlakukan lagi dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 169/ PMK.010/2015. Peraturan ini mengatur tentang Penentuan Besarnya Antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan. Perbandingan yang ditetapkan sebagai batas maksimal adalah empat banding satu (4:1).
Pembaruan ini dilakukan, dikarenakan penentuan batasan 3:1 sebelumnya dikhawatirkan dapat menghambat perkembangan dunia usaha.
Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap Sebab Belum Semua Tenaga Medis Dapat Insentif
Wajib Pajak yang Dikecualikan
Selain itu, dalam PMK 169/ PMK.010/2015 juga mengatur sektor usaha yang dikecualikan dari pembatasan debt to equity ratio ini. Sektor usaha tersebut antara lain: perbankan, asuransi dan reasuransi, lembaga pembiayaan, bidang pertambangan dengan ketentuan tertentu, infrastruktur, dll.
Ketentuan Debt to Equity Ratio dalam Perpajakan
Perlakuan biaya utang yang dapat dijadikan biaya, sementara dividen dari modal tidak dapat dijadikan biaya yang dapat mengurangi pajak.
Dalam praktiknya, perusahaan multinasional seringkali memilih untuk menyuntikkan dana ke perusahaan cabangnya sebagai utang alih-alih modal, dengan demikian penghasilan kena pajak dalam laporan keuangan akan tercatat lebih kecil.
Apabila besarnya rasio antara utang dan modal Wajib Pajak melebihi Batasan yang telah ditetapkan. maka biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan hanyalah sebesar biaya pinjaman yang telah disesuaikan dengan ketentuan.
Besarnya biaya pinjaman juga wajib memperhatikan ketentuan lain dalam Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh. Serta memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU PPh.
Baca Juga: PPh Emiten Pemegang Saham Publik Minimal 40 Persen Dipangkas
Apabila ditemukan bahwa Wajib Pajak memiliki saldo ekuitas bernilai nol atau kurang dari nol, maka semua biaya pinjaman tidak boleh diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak.
Dalam peraturan di atas juga diatur tentang kewajiban untuk melaporkan besarnya utang swasta luar negeri kepada Direktur Jenderal Pajak. Apabila kewajiban tersebut tidak diindahkan, maka biaya pinjaman atas pinjaman atas utang swasta luar negeri tersebut tidak dapat dikurangkan dalam perhitungan penghasilan kena pajak.
Sumber: Klik Pajak