E-Commerce, Pilar Baru untuk Negeri
Dimulai saat beberapa platform yang sudah semakin berkembang pesat, sebut saja salah satu contohnya adalah Youtube mulai dibentuk, ia lahir dari tangan tiga mantan karyawan PayPal, Chad Hurley, Steve Chen dan Jawed Karim, pada Februari 2005 ini semakin menunjukkan pengaruhnya terhadap industri digital dunia. Di Indonesia sendiri, ketertarikan terhadap konten yang diunggah di laman Youtube semakin menunjukkan grafik yang melejit tajam, tak tanggung-tanggung tercatat jumlah penonton bulanan Youtube sudah menembus 2 miliar. Lalu apa sajakah pengaruh lonjakan penikmat Youtube ini terhadap si pembuat konten di negeri ini?
Menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, disebutkan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dalam hal ini termasuk penghasilan yang berasal dari pembuatan konten di jejaring sosial.
Saat menjadi seorang pembuat konten atau sebut saja dalam hal platform Youtube adalah seorang Youtuber, maka akan ada penghasilan yang diterima, di mana penghasilan tersebut berasal dari iklan, endorsement maupun kolega yang mau memberikan fee dalam rangka balas jasa atas beberapa produk mereka yang turut diiklankan oleh para Youtubertersebut. Tidak tanggung-tanggung, penghasilan yang diterima oleh seorang Youtuber yang memang sudah paham dibidangnya bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Nah, dalam hal inilah peran dari Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak harus dilibatkan.
Jika mengacu pada pengertian penghasilan di atas, maka tentu penghasilan yang diterima oleh seorang Youtuber dapat dikategorikan sebagai objek pajak yang dapat dikenakan dengan Undang-undang Pajak Penghasilan sesuai sebagaimana dengan ketentuan yang telah berlaku.
Lebih khusus dalam hal seorang wajib pajak yang berprofesi sebagai Youtuber, tentu memberian keuntungan tersendiri terhadap Direktorat Jenderal Pajak yang mayoritas sistem pelaporan serta pembayarannya sekarang juga telah berbasis digital. Dengan semakin digalakkannya segala proses perpajakan yang semakin menjamah area digital, maka diharapkan pula untuk para pengusaha yang juga telah bergerak di bidang yang sama untuk semakin dapat menjadi contoh bagi masyarakat yang lain untuk dapat lebih mengoptimalkan sistem yang sudah ada.
Selain hal tersebut, dari segi penghitungan pajak untuk para pelaku usaha di dunia digital ini terdapat dua cara, yakni yang pertama bisa menggunakan sistem akuntansi pembukuan yang sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia untuk menentukan jumlah penghasilan netonya, atau bisa juga hanya dengan menggunakan sistem akuntansi pencatatan biasa. Tentu saja besarnya tarif untuk menghitung juga akan berbeda.
Mari kita ambil cara termudah untuk menentukan penghasilan neto seorang Youtuber, yakni dengan penggunaan metode norma penghitungan. Besarnya norma penghitungan penghasilan neto dikelompokkan menurut wilayah sesuai dengan lampiran PER- 17 /PJ/2015 adalah sebagai berikut :
1. 10 (sepuluh) ibu kota provinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;
2. Ibu kota provinsi lainnya;
3. daerah lainnya.
Dari ke tiga kategori daerah tersebut dapat memiliki persentase norma penghitungan yang berbeda-beda, dan dari setiap jenis usaha juga turut mempengaruhi besarnya presentase dari norma penghitungan yang akan dikenakan kepada seorang pelaku usaha digital.
Anggap saja seorang Youtuber A yang memiliki penghasilan selama setahun sebesar Rp1.000.000.000,00 maka penghasilan tersebut harus dikalikan dengan besaran norma penghitungan yang berlaku, dan mari kita ambil contoh jika norma penghitungan yang diberlakukan adalah sebesar 50%. Maka Penghasilan Neto dari Youtuber A adalah:
1. Kantor akuntan publik: 50% x Rp1.000.000.000,00 = Rp500.000.000,00
2. Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun untuk diri wajib pajak sendiri (dalam kondisi belum menikah) = Rp54.000.000,00 maka Penghasilan Kena Pajak = Rp446.000.000,00
3. Pajak Penghasilan terutang:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15% x Rp200.000.000,00 = Rp30.000.000,00
25% x Rp196.000.000,00 = Rp49.000.000,00
Jumlah = Rp81.500.000,00
Jadi berdasarkan contoh penghitungan di atas dapat disimpulkan bahwa metode penghitungan dengan menggunakan norma penghitungan dapat cukup membantu para pelaku usaha di bidang industri digital seperti kebanyakan yang terjadi sekarang. Tanpa melakukan pembukuan yang rincipun sebenarnya wajib pajak masih tetap dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik.
Apakah setelah penghitungan tugas para Youtuber ini terhadap negara akan selesai? Tentu belum, masih ada satu langkah lagi yang harus dilakukan untuk dapat menjadi warga negara yang baik, yakni melakukan pelaporan pajak atas penghasilan yang telah mereka hitung dan bayar sebelumnya. Semenjak tahun 2014 kementerian keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan berbagai inovasi untuk mempermudah setiap proses administrasi oleh wajib pajak, salah satunya yaitu peluncuran e-filing. E-filing dapat diakses secara global karena menggunakan jaringan internet, laman ini telah dirancang secara baik untuk dapat memandu wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Terkait dengan pekerjaan yang bergelut di dunia digital, sudah seharusnya para content creator ini dapat lebih patuh dan bijaksana dalam menggunakan keahliannya, salah satunya yaitu dalam bidang perpajakan negeri ini.
Source : https://www.pajak.go.id
HUBUNGI KAMI :
Hotline : (021) 22085079
Call/WA : 0818 0808 0605 (Ikhwan)
CAll/SMS : 0812 1009 8812/ 0812 1009 8813
Email: kjaashadi@gmail.com; info@kjaashadi.com